Kamis, 29 November 2012

P P No 32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1996 
TENTANG 
TENAGA KESEHATAN 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : Bahwa sebagai pelakssanaan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tenaga Kesehatan.
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan (lembaga Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaga Negara Nomor 3495).


MEMUTUSKAN: 
Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TENAGA KESEHATAN

BAB I 
KETENTUAN UMUM 
Pasal 1
Dalam peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan;
2. Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan;
3. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memlihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat;
4. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.



BAB II 
JENIS TENAGA KESEHATAN
Pasal 2
(1) Tenaga kesehatan terdiri dari:
a. Tenaga medis;
b. Tenaga keperawatan;
c. Tenaga kefarmasian;
d. Tenaga kesehatan masyarakat;
e. Tenaga gizi;
f. Tenaga keterampilan fisik;
g. Tenaga keteknisian medis;

(2) Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gig.
(3) Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan.
(4) Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.
(5) Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemolog kesehatan, entomology kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluhan kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian.
(6) Tenaga gizi meliputi nutrisi dan dietisien.
(7) Tenaga keterampilan fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis wicara.
(8) Tenaga keteknisian medis meliputi radiographer, radioterapis, teknisi gigi, teknis elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisitranfusi dan perekam medis.

BAB III 
PERSYARATAN
Pasal 3 

Tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan.

Pasal 4 

(1) Tenaga kesehatan hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah tenaga kesehatan yang bersangkutan memiliki ijin dari Menteri.
(2) Dikecualikan dari pemilikan ijin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi tenaga kesehatan masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.


Pasal 5 

(1) Selain ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), tenaga medis dan tenaga kefarmasian lulusan dari lembaga pendidikan di luar negeri hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah yang bersangkutan melakukan adaptasi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai adaptasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.

BAB IV 
PERENCANAAN, PENGADAAN DAN PENEMPATAN

Bagian Kesatu 
Perencanaan 
Pasal 6

(1) Pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan yang merata bagi seluruh masyarakat.
(2) Pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan dilaksanakan sesuai dengan perencanaan nasional tenaga kesehtan.
(3) Perencanaan nasional tenaga kesehatan disusun dengan memperhatikan factor:
a. Jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat;
b. Sarana kesehatan;
c. Jenis dan jumlah tenaga kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan.
(4) Perencanaan nasional tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.

Bagian Kedua 
Pengadaan 
Pasal 7

Pengadaan tenaga kesehatan dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan di bidang kesehatan.

Pasal 8

(1) Pendidkan di bidang kesehatan dilaksanakan di lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau masyarakat.
(2) Peyelenggaraan pendidikan di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ijin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 9

(1) Pelatihan di bidang kesehatan diarahkan untuk meningkatkan keterampilan ataupenguasaan pengetahuan di bidang teknis kesehatan.
(2) Pelatihan di bidang kesehatan dapat dilakukan secara berjenjang sesuai dengan jenis tenaga kesehatan yang bersangkutan.

Pasal 10

(1) Setiap teaga kesehtan memiliki kesempayan yang sama untuk mengikuti pelatihan di bidang kesehatan sesuai dengan bidang tugasnya.
(2) Penyelenggara dan/atau pimpinan sarana kesehatan bertanggung jawab atas pemberian kesempatan kepada tenaga kesehatan yang ditempatkan dan/atau bekerja pada sarana kesehatan yang bersangkutan untuk meningkatkan keterampilan atau pengetahuan melalui pelatihan dibidang kesehatan. 

Pasal 11

(1) Pelatihan di bidang kesehatan dilaksanakan dib alai pelatihan tenaga kesehatan atau tempat pelatihan lainnya.
(2) Pelatihan di bidang kesehatan dapat diselenggarakan oleh Pemerinah dan/atau masyarakat.

Pasal 12

(1) Pelatihan di bidang kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pelatihan di bidang kesehatan yang diselenggarakab oleh masyarakat dilaksanakan atas dasar ijin Menteri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur oleh Menteri.

Pasal 13

(1) Pelatihan di bidang kesehatan wajib memenuhi persyaratan tersedianya:
a. Calon peserta pelatihan;
b. Tenaga kepelatihan;
c. Kurikulum;
d. Sumber dana yang tetap untuk menjamin kelangsungan penyelenggaraan pelatihan;
e. Sarana dan prasarana.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pelatihan di bidang kesehatn sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh menteri.

Pasal 14

(1) Menteri dapat menghentikan pelatihan apabila pelaksanaan peltihan di bidang kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat ternyata:
a. Tidak sesuai dengan arah pelatihan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1);
b. Tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalm Pasal 13 ayat (1);
(2) Penghentian pelatihan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat(1), dapat mengakibatkan decabutnya ijin pelatihan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian pelatihan dan pencabutan ijin pelatihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oeh menteri.



Bagian Ketiga 
Penempatan 
Pasal 15

(1) Dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat, pemerintah dapat mewajibkan tenaga kesehatan untuk ditempatkan pada sarana kesehatan tertentu untuk jangka waktu tertentu.
(2) Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 91) dilakukan dengan cara masa bakti.
(3) Pelaksanaan penempatan tenaga kesehatan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 16

Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab menteri.

Pasal 17

Penempatan tenaga kesehatan dengan cara masa bakti dilaksanakan dengan memperhatikan:
a. Kondisi wilayah dimana tenaga kesehatan yang berssangkutan ditempatkan;
b. Lamanya penempatan;
c. Jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat;
d. Prioritas sarana kesehatan.

Pasal 18

(1) Penempatan tenaga kesehatan dengan cara masa bakti dilaksanakan pada:
a. Sarana kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah;
b. Sarana kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang ditunjuka oleh Pemerintah;
c. Lingkungan perguruan tinggi sebagai staf pengajar;
d. Lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
(2) Pelaksanaan ketentuan huruf c dan huruf d sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan dari pimpinan instansi terkait.

Pasal 19

(1) Tenaga kesehatan yang telah melaksanakan masa bakti diberikan surat keterangan dari menteri.
(2) Surat keterangan sebgaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan persyaratan bagi tenaga kesehatan untuk memperoleh ijin menyelenggarakan upaya kesehatan pada sarana kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian surat keterangan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.


Pasal 20

Status tenaga kesehatan dalam penempatan tenaga kesehatan dapat berupa: 
a. pegawai negeri; atau 
b. pegawai tidak tetap. 



BAB V 
STANDAR PROFESI DAN PERLINDUNGAN HUKUM

Bagian Kesatu 
Standar Profesi 
Pasal 21
(1) Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi tenaga kesehatan.
(2) standar profesi tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 22

(1) Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk:
a. Menghormati hak pasien;
b. Menjaga kerahasiaan identitas;
c. Memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan 
dilakukan;
d. Meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan;
e. Membuat dan memelihara rekam medis;
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.


Pasal 23

(1) Pasien berhak atas ganti rugi apabila dalam pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat atau kematian yang terjadi karena kesalahan atau kelalaian.
(2) Ganti rugi sebagimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Bagian Kedua 
Perlindungan Hukum 
Pasal 24

(1) Perlindungan hokum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.

BAB VI 
PENGHARGAAN
Pasal 25 

(1) Kepada tenaga kesehatan yang bertugas pada sarana kesehatan atas dasar prestasi kerja, pengabdian, kesetiaan, berjasa pada Negara atau menninggal dunia dalam melaksakan tugas diberikan penghargaan.
(2) Penghargaan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
(3) Bentuk penghargaan dapat berupa kenaikan pangkat, tanda jasa, uang atau bentuk lain.


BAB VII 
IKATAN PROFESI
Pasal 26 

(1) Tenaga kesehatan dapat membentuk ikatan profesi sebagai wadah untuk meningkatkan dan/atau mengembangkan pengetahuan dan keterampilan martabat dan kesejahteraan tenaga kesehatan.
(2) Pembentukan ikatan profesi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


BAB VIII 
TENAGA KESEHATAN WARGA NEGARA ASING
Pasal 27 

(1) Tenaga kesehatan warga Negara asing hanya dapat melakukan upaya kesehatan atas dasar ijin dari Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang tenaga kerja asing.



BAB IX 
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu 
Pembinaan 
Pasal 28
(1) Pembinaan tenaga kesehatan diarahkan untuk meningkatkan mutu pengabdian profesi tenaga kesehatan
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melaluui pembinaan karier, disiplin dan teknis profesi tenaga kesehatan.

Pasal 29

(1) Pembinaan karier tenaga kesehatan meliputi kenaikan pangkat, jabatan dan pemberian penghargaan.
(2) Pembinaan karier tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 30

(1) Pembinaan disipllin tenaga kesehatan menjadi tanggung jawab penyelenggara dan/atau pimpinan sarana kesehatan yang bersangkutan.
(2) Pembinaan disiplin tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 31

(1) Menteri melakukan pembinaan teknis profesi tenaga kesehatan.
(2) Pembinaan teknis profesi tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. Bimbingan;
b. Pelatihan di bidang kesehatan;
c. Penetapan standar profesi tenaga kesehatan.

Bagian Kedua 
Pengawasan 
Pasal 32

Menteri melakukan pengawasan terhadap tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas profesinya.

Pasal 33
(1) Dalam rangka pengawasan. Menteri dapat mengambil tindakan disiplin terhadap tenaga kesahatan yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan yang bersangkutan.
(2) Tindakan disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a. Teguran; 
b. Pencabutan ijin untuk melakukan upaya kesehatan.
(3) Pengambilan tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) silaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB X 
KETENTUAN PIDANA
Pasal 34

Barang siapa dengan sengaja menyelenggarakan pelatihan di bidang kesehatan tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana sesuai dengan ketentuan Pasal 84 Undang-undangan Nomor 23 tahun 1992 tantang kesehatan.

Pasal 35

Berdasarkan ketentuan Pasal 86 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, barang siapa dengan sengaja:
a. Melakukan upaya kesehatan tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);
b. Melakukan upaya kesehatan tanpa melakukan adaptasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1);
c. Melakukan upaya kesehatan tidak sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1);
d. Tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1); dipidana denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).


BAB XI 
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 36 
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tenaga kesehatan yang telah ada masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 37

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahinya, memerintahkan perundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalm Lembaga Negara Republik Indonesia.



Ditetapkan Di Jakarta, 
Pada Tanggal 22 Mei 1996 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
Ttd. 
SOEHARTO 
Diundangkan Di Jakarta, 
Pada Tanggal 22 Mei 1996 
MENTERI NEGARA/SEKRETARIS NEGARA 
REPUBLIK INDONESIA, 
Ttd. 
MOERDIONO 
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1996 NOMOR 49

Standar Praktik Bidan


  • Standar I : Metode Asuhan
Asuhan Kebidanan dilaksanakan dengan metode manajemen kebidanan dengan langkah : Pengumpulan data dan analisis data, penentuan diagnosa perencanaan pelaksanaan, evaluasi, dan dokumentasi.
Difinisi Operasional :
1. Ada format manajemen kebidanan yang sudah terdaftar pada catatan medis.
2. Format manajemen kebidanan terdiri dari : format pengumpulan data, rencana format pengawasan resume dan tindak lanjut catatan kegiatan dan evaluasi.
  • Standar II : Pengkajian
Pengumpulan data tentang status kesehatan kilen dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan. Data yang diperoleh dicatat dan dianalisis.
Difinisi Operasional :
1. Ada format pengumpulan data
2. Pengumpulan data dilakukan secara sistematis, terfokus, yang meliputi data :
 - Demografi identitas klien
 - Riwayat penyakit terdahulu
 - Riwayat kesehatan reproduksi
 - Keadaan kesehatan saat ini termasuk kesehatan reproduksi
 - Analisis data
3. Data dikumpulkan dari :
 - Klien/pasien, keluarga dan sumber lain
 - Teanaga kesehatan
 - Individu dalam lingkungan terdekat
4. Data diperoleh dengan cara :
 - Wawancara
 - Observasi
 - Pemeriksaan fisik
 - Pemeriksaan penunjang
  • Standar III : Diagnosa Kebidanan
Diagnosa kebidanan dirumuskan berdasarkan analisis data yang telah dikumpulkan.
Difinisi Operasional :
1. Diagnosa kebidanan dibuat sesuai dengan kesenjangan yang dihadapi oleh klien / suatu keadaan psikologis yang ada pada tindakan kebidanan sesuai dengan wewenang bidan dan kebutuhan klien
2. Diagnosa kebidanan dirumuskan dengan padat, jelas sistematis mengarah pada asuhan kebidanan yang diperlukan oleh klien
  • Standar IV : Rencana Asuhan
Rencana Asuhan kebidanan dibuat berdasarkan diagnosa kebidanan
Difinisi Operasional :
1. Ada format rencana asuhan kebidanan
2. Format rencana asuhan kebidanan terdiri dari diagnosa, rencana tindakan dan evaluasi
  • Standar V : Tindakan
Tindakan kebidanan dilaksanakan berdasarkan rencana dan perkembangan keadaan klien : tindakan kebidanan dilanjutkan dengan evaluasi keadaan klien
Difinisi Operasional :
1. Ada format tindakan kebidanan dan evaluasi
2. Format tindakan kebidanan terdiri dari tindakan dan evaluasi
3. Tindakan kebidanan dilaksanakan sesuai dengan rencana dan perkembangan klien
4. Tindakan kebidanan dilaksanakan sesuai dengan prosedur tetap dan wewenang bidan atau tugas kolaborasi
5. Tindakan kebidanan dilaksanakan dengan menerapkan kode etik kebidanan etika kebidanan serta mempertimbangkan hak klien aman dan nyaman
6. Seluruh tindakan kebidanan dicatat pada format yang telah tersedia
  • Standar VI : Partisipasi Klien
Tindakan kebidanan dilaksanakan bersama-sama/partisipasi klien dan keluarga dalam rangka peningkatan pemeliharaan dan pemulihan kesehatan
Difinisi Operasional :
1. Klien/keluarga mendapatkan informasi tentang :
 - status kesehatan saat ini
 - rencana tindakan yang akan dilaksanakan
 - peranana klien/keluarga dalam tindakan kebidanan
 - peranan petugas kesehatan dalam tindakan kebidanan
 - sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan
2. Klien dan keluarga bersama-sama dengan petugas melaksanakan tindakan kegiatan
  • Standar VII : Pengawasan
Monitor/pengawasan terhadap klien dilaksanakan secara terus menerus dengan tujuan untuk mengetahui perkembangan klien
Difinisi Operasional :
1. Adanya format pengawasan klien
2. Pengawasan dilaksanakan secara terus menerus sitematis untuk mengetahui keadaan perkembangan klien
3. Pengawasan yang dilaksanakan selalu dicatat pada catatan yang telah disediakan
  • Standar VIII : Evaluasi
Evaluasi asuhan kebidanan dilaksanakan terus menerus seiring dengan tindakan kebidanan yang dilaksanakan dan evaluasi dari rencana yang telah dirumuskan.
Difinisi Operasional :
1. Evaluasi dilaksanakan setelah dilaksanakan tindakan kebidanan.
    Klien sesuai dengan standar ukuran yang telah ditetapkan
2. Evaluasi dilaksanakan untuk mengukur rencana yang telah dirumuskan
3. Hasil evaluasi dicatat pada format yang telah disediakan
  • Standar IX : Dokumentasi
Asuhan kebidanan didokumentasikan sesuai dengan standar dokumentasi asuhan kebidanan yang diberikan
Difinisi Operasional :
1. Dokumentasi dilaksanakan untuk disetiap langkah manajemen kebidanan
2. Dokumentasi dilaksanakan secara jujur sistimatis jelas dan ada yang bertanggung jawab
3. Dokumentasi merupakan bukti legal dari pelaksanaan asuhan kebidanan